Obrok Owok Owok Ebrek Ewek Ewek Kisahkan Secuil Kehidupan Masyarakat Jawa
Malam kedua (11/10/2012) Gelar Teater
Jawa Tengah di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, semalam
menghadirkan tamu dari Kudus, Kelompok Segitiga Teater. Jauh-jauh dari
Kudus mereka membawakan naskah karya Danarto berjudul Obrok Owok Owok Ebrek Ewek Ewek.
Naskah drama komedi ini menjadi sajian spesial bagi pengunjung Teater
Arena malam tadi. Terbukti naskah adaptasi yang mereka bawakan berhasil
mengocok perut para pengunjung pementasan.
Datang dalam dua rombongan dari Kudus,
Kelompok Segitiga Teater ini sekaligus ingin mengangkat pesona batik
Kudus yang hampir punah dalam pementasan mereka. Pementasan yang
diarahkan oleh sutradara A. Zaki Yamani ini menampilkan pentas teater
realis dengan setting Pasar Kliwon dan juga setting lokasi lain seperti
rumah, kamar tidur, serta panggung. Tujuh orang pemain terlibat dalam
pementasa ini di mana mereka membawakan karakter Slenthem sebagai tukang
sapu Pasar Kliwon, Tomi seorang mahasiswa seni rupa juga designer
batik, Sumirah seorang juragan batik Pasar Kliwon, Mbak Ati seorang
juragan batik, Profesor seni rupa, Nyonya Profesor, dan Kusningtyas
seorang mahasiswi kedokteran anak dari Profesor.
Yang menarik dari naskah yang diadaptasi
oleh kelompok teater asal Kudus ini adalah beberapa adegan yang
dibawakan dalam beberapa setting lokasi berbeda yang dibawakan dalam
satu panggung. Tak hanya itu, naskah yang ditulis secara khusus pada
tahun 1973 untuk Teater Alam ini juga menuntut keuletan para pemainnya
untuk membawakan beberapa dialog yang sama persis pada waktu yang
bersamaan dengan setting lokasi berbeda dan permasalahan yang terjadi
pada karakter yang berbeda namun membicarakan permasalahan yang sama dan
di atas panggung yang sama. Kontan saja adegan-adegan itu tak hanya
menjadi sajian yang berbeda tetapi juga menjadi hiburan yang spesial.
Naskah Obrok Owok Owok Ebrek Ewek Ewek
sendiri menceritakan kehidupan seorang mahasiswa seni rupa bernama Tomi
yang menjalin hubungan dengan seorang juragan batik, Sumirah, tetapi di
lain tempat dia juga menjalin hubungan dengn seorang mahasiswi
kedokteran bernama Kusningtyas yang tak lain adalah putri kesayangan
Profesor yang mengampunya dalam ujian kelulusan. Maksud dari Tomi tentu
saja bukan hanya maksud percintaan, tetapi juga maksud bisnis sekaligus
maksud prestasi pendidikan yang dikejarnya. Namun, tak ada bangkai yang
tak tercium baunya dan itulah yang menjadi konflik dalam cerita komedi
ini.
Kelemahan Tomi secara disadarinya berada
pada pundak Slenthem, seorang tukang sapu Pasar Kliwon, yang mengetahui
segala kelicikan yang dirancangnya. Karena itu dia selalu rajin
membungkam mulut Slenthem dengan uang rokok agar tidak membocorkan
segala perbuatannya. Namun tanpa disadari Tomi, Slenthem justru mencari
manfaat dalam keruwetan itu. Slenthem sendiri dalam naskah ini menjadi
tokoh penting sekaligus juga narator. Pemeran Slenthem inilah yang
berperan menaikan tensi cerita dengan celethuk-celethukannya yang
berakhir dengan antusias penonton dalam menyaksikan pertunjukan semalam.
Dan jika dilihat dari reaksi penonton semalam, pemeran Slenthem
berhasil mendapatkan posisinya dalam panggung.
Karakter-karakter dalam cerita ini
menggambarkan dua generasi berbeda yang hidup dalam masyarakat. Profesor
mewakili generasi yang menjunjung tradisi sementara anaknya Kusningtyas
dan Tomi mewakili generasi kontemporer. Nasib batik yang diangkat dalam
pementasan semalam ditarik kedalam cerita bersama masalah Tomi dengan
Sumirah dan keluarga Profesor. Selain itu, nilai-nilai penghargaan
terhadap tradisi juga diselipkan dalam dialog-dialog antara Profesor
dengan Tomi. Hal lain juga yang diangkat dalam pementasan semalam adalah
bagaimana kedudukan sosial dalam tingkat masyarakat tidak dapat
dijadikan cerminan perilaku mereka yang sebenarnya. Hal-hal itu tampak
dari bagaimana seorang Profesor yang berpendidikan tinggi atau seorang
juragan batik yang makmur masih tergiur dengan hal-hal mistis seperti
dukun dan pirantinya yang menawarkan kemudahan untuk menyelesaikan
permasalahan mereka.
Posting Komentar